Kisah Jihad Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah senantiasa mendapatkan ujian yang menyertainya dalam hidupnya, dan penulis tidak bermaksud dengan ujian sang syekh sebagai penghinaan terhadapnya, karena ia rahimahullah hidup dalam keadaan dimuliakan dan dihormati, bahkan ketika dalam penjara sekalipun. Di mana pun ia berada, selalu ada penghormatan dan penghargaan. Yang penulis maksud dengan ujian di sini adalah penjara dan pembatasan kebebasannya dalam berdakwah. [1]
Hal yang paling berat bagi seorang ulama adalah ketika ia terhalang untuk menyampaikan syariat Allah dan mengajarkannya kepada manusia. Seorang muslim memang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai cobaan. Ini adalah ujian dari Allah, yang dengannya Dia menguji hamba-Nya, dan kewajiban seorang muslim dalam menghadapinya adalah bersabar dan mencari hiburan dalam ketetapan-Nya. [2]
Secara lahiriah, hal-hal ini tampak sebagai ujian, tetapi sebenarnya itu adalah anugerah dan karunia dalam bentuk cobaan. Ibnu Taimiyah ini diuji dengan berbagai cobaan sepanjang hidupnya karena kedudukannya telah mencapai puncaknya, ia melampaui semua persaingan, namanya dikenal di setiap tempat, dan ia memiliki tekad sekuat baja, lidah yang fasih dan tajam, serta kehendak yang kuat untuk berjuang. Semua itu demi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Namun, kedudukannya yang tinggi telah membangkitkan kebencian dari mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan tidak mampu mencapai derajat yang sama dengannya. [3]
Ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah menjadikan dirinya unggul di antara para ulama pada zamannya, yang sebagian besar terjebak dalam taklid buta, fanatisme yang tercela, atau hawa nafsu, demi mengejar jabatan yang tidak abadi. Begitulah kita menemukan Ibnu Taimiyah sebagai seorang reformis dan pendidik, yang terlibat dalam pertempuran di berbagai medan, berjuang di berbagai tempat, membela Al-Qur’an dan Sunnah, serta membantah segala bentuk perantara apapun itu dan siapapun yang menghadapinya. Hal ini menimbulkan permusuhan dari lawan-lawannya yang berasal dari berbagai mazhab dan aliran, serta dari penguasa pada masanya yang memasukkannya ke dalam penjara hingga ia meninggal di sana, rahimahullah.
Namun, ia meninggalkan warisan besar bagi kita, yang menjadi dasar bagi metodologi tauhid dalam bidang agama dan pendidikan umat, yang menjadi referensi penting bagi kaum muslimin setelahnya.
Dan pada akhirnya, ujian yang dihadapi oleh imam ini dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai anugrah baginya dan bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Ketika ia pergi ke Mesir pada tahun 705 H, di mana pun ia berada, ia menjadi cahaya dan petunjuk. Ketika ia melewati Gaza, ia mengadakan sebuah majelis besar di masjidnya dan memberikan pengajaran yang bijak. Begitu juga pada tahun 707 H, ia mulai mengajar di Mesir, hingga Allah memberikan manfaat yang besar melalui dirinya, dan orang-orang melihatnya sebagai seorang yang tulus dalam hati dan pikirannya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. [4]
Namun, yang terjadi adalah adanya orang-orang dengan rasa iri yang mendalam dalam hati mereka yang sakit, yang disebabkan oleh keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran dan ketundukan mereka kepadanya. Mereka juga merasa terganggu dengan perintahnya untuk menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta penolakan mereka terhadapnya. Bahkan, beberapa di antara mereka melaporkannya kepada penguasa karena ia berbeda pendapat dengan mereka. Seperti para pengikut tasawuf yang sudah berlebihan, para pelaku bid’ah, orang-orang jahil yang hanya ikut-ikutan, dan mereka yang memiliki jabatan dan takut kehilangan kedudukan, serta mereka yang telah menjual agama mereka demi dunia.
Begitu pula, kehidupan Ibnu Taimiyah penuh dengan serangkaian ujian yang berturut-turut datang menimpanya. Ia dipenjara tujuh kali [5]: empat kali di Mesir (di Kairo dan Alexandria) dan tiga kali di Damaskus. Awal mula ia dipenjara adalah ketika usianya menginjak dua puluh dua tahun, setelah kembali dari ibadah haji, di mana ia mulai menghadapi cobaan berupa penahanan, penyiksaan, dan pengawasan ketat selama 34 tahun, mulai dari tahun 693 H hingga hari wafatnya di penjara Qal’ah di Damaskus pada hari Senin, 20 Zulkaidah 728 H.
Ada berbagai alasan di balik penahanan-penahanannya:
1) Penahanan pertama terjadi di Damaskus pada tahun 693 H untuk waktu yang singkat.
2) Penahanan kedua terjadi di Mesir karena perbedaan pendapat mengenai sifat-sifat Allah, seperti masalah ‘arsy dan turunnya Allah, dan berlangsung selama satu tahun enam bulan dari Ramadan 705 H hingga Syawal, Rabi’ul Awal 707 H.
3) Penahanan ketiga di Mesir terjadi karena ia melarang tawassul dan istighatsah kepada makhluk, serta pernyataannya tentang Ibnu Arabi si sufi, dan durasinya juga singkat, mulai dari awal Syawal 707 H hingga 18 Syawal 707 H.
4) Penahanan keempat di Mesir adalah kelanjutan dari penahanan ketiga, berlangsung lebih dari dua bulan dari akhir Syawal 707 H hingga awal tahun 708 H.
5) Penahanan kelima terjadi di Mesir, kelanjutan dari penahanan keempat, di mana ia dipindahkan ke Alexandria dan dijaga secara ketat selama tujuh bulan lebih, dari awal Rabi’ul Awal 709 H hingga Syawal 709 H, atas hasutan beberapa pihak yang memiliki kepentingan.
6) Penahanan keenam terjadi di Damaskus karena pernyataannya mengenai sumpah dengan talak, yang dianggapnya sebagai sumpah yang harus ditebus. Penahanan ini berlangsung lima bulan dua puluh delapan hari, dari 12 Rajab 720 H hingga 10 Muharam 721 H.
7) Penahanan ketujuh dan terakhir terjadi di Damaskus karena perbedaan pendapat mengenai ziarah kubur yang dianggap sunnah dan bid’ah, yang berlangsung selama dua tahun, tiga bulan, dan empat belas hari, dimulai pada hari Senin, 6 Sya’ban 726 H hingga malam wafatnya pada Senin, 20 Zulkaidah 728 H. [6]
Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan semua itu sebagai kebaikan Ibnu Taimiyah dan umatnya. Dengan izin Allah, melalui penjara-penjara tersebut, banyak orang yang mendapat hidayah. Ilmunya tersebar dari Mesir ke Afrika Utara dan Andalusia. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Mungkin kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [7]
Dan firman Allah,
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [8]
[Selesai]
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Ibnu Taimiyah karya Syekh Muhammad Abu Zuhroh, hal. 49.
[2] Al-Waabilu Ash-Shayyib, karya Ibnul Qayyim, hal. 7.
[3] Op. Cit, hal. 49; dengan perubahan.
[4] Ibid, hal. 55, 60-62; dengan perubahan.
[5] Al-Madaakhil Ila Aatsari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syekh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 31-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.
[6] Ibid, hal. 32-37; dengan perubahan dan diringkas oleh penulis.
[7] QS. An-Nisa’: 19.
[8] QS. Al-Baqarah: 216.
Artikel asli: https://muslim.or.id/107719-kisah-jihad-syekhul-islam-ibnu-taimiyah-bag-2.html